Selasa, 05 April 2016

laporan dastan




LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR ILMU TANAH

ACARA 1
PENYIAPAN CONTOH TANAH








Oleh :
Rizki Nurkhayati
NIM. A1A015029
Rombongan 14
Pj. Yona Azalia C.
Nyawiji Endah



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016




I.                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tanah mempunyai sifat sangat kompleks, terdiri atas komponen padatan yang berinteraksi dengan cairan, dan udara. Komponen pembentuk tanah yang berupa padatan, cair, dan udara jarang berada dalam kondisi kesetimbangan, selalu berubah mengikuti perubahan yang terjadi di atas permukaan tanah yang dipengaruhi oleh suhu udara, angin, dan sinar matahari.
Untuk bidang pertanian, tanah merupakan media tumbuh tanaman. Media yang baik bagi pertumbuhan tanaman harus mampu menyediakan kebutuhan tanaman seperti air, udara, unsur hara, dan terbebas dari bahan-bahan beracun dengan konsentrasi yang berlebihan. Dengan demikian sifat-sifat fisik tanah sangat penting untuk dipelajari agar dapat memberikan media tumbuh yang ideal bagi tanaman.
Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah di laboratorium. Pengambilan contoh tanah untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah pada satu titik pengamatan, misalnya pada lokasi kebun percobaan atau penetapan sifat fisik tanah yang menggambarkan suatu hamparan berdasarkan poligon atau jenis tanah tertentu dalam suatu peta tanah.



B.     Tujuan
Menyiapkan contoh tanah kering angin/udara dengan diameter 2 mm dan contoh tanah halus (diameter 0,5 mm) yang digunakan untuk acara penetapan kadar air, derajat kerut tanah, dan pengenalan contoh tanah



















II.                TINJAUAN PUSTAKA
Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah di laboratorium. Prinsipnya, hasil analisis sifat-sifat tanah di laboratorium harus dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya sifat fisik tanah di lapangan (Suganda et al, 2002).
Sifat-sifat fisik tanah yang dapat ditetapkan di laboratorium mencakup berat volume (BV), berat jenis partikel (PD = particle density), tekstur tanah, permeabilitas tanah, stabilitas agregat tanah, distribusi ukuran pori tanah termasuk ruang pori total (RPT), pori drainase, pori air tersedia, kadar air tanah, kadar air tanah optimum untuk pengolahan, plastisitas tanah, pengembangan atau perngerutan tanah (COLE = coefficient of linier extensibility) dan ketahanan geser tanah (Suganda et al, 2002).
Ada beberapa jenis contoh tanah, diantaranya:
1.      Contoh tanah utuh (Undisturbed soil sample)
Contoh tanah utuh merupakan contoh tanah yang diambil dari lapisan tanah tertentu dalam keadaan tidak terganggu, sehingga kondisinya hampir menyamai kondisi di lapangan. Contoh tanah tersebut digunakan untuk penetapan angka berat volume (berat isi, bulk density), distribusi pori pada berbagai tekanan (pF 1, pF 2, pF 2,54, dan pF 4,2) dan permbeabilitas.


2.      Agregat utuh (Undisturbed soil agregate)
Contoh tanah agregat utuh adalah contoh tanah berupa bongkahan alami yang kokoh dan tidak mudah pecah. Contoh tanah ini diperuntukkan bagi analisis indeks kestabilitas agregat (IKA). Contoh diambil menggunakan cangkul pada kedalaman 0-20 cm.
3.      Contoh tanah tidak utuh/terganggu (Disturbed soil sample)
Contoh tanah terganggu dapat juga digunakan untuk analisis sifat-sifat kimia tanah. Kondisi contoh tanah terganggu tidak sama dengan keadaan di lapangan, karena sudah terganggu sejak dalam pengambilan contoh. Contoh tanah ini dapat dikemas mengunakan kantong plastik tebal atau tipis. Kemudian diberi label yang berisikan informasi tentang lokasi, tanggal pengambilan, dan kedalaman tanah. Label ditempatkan di dalam atau di luar kantong plastik (Suganda et al, 2002).
Andisol adalah salah satu jenis tanah yang relatif subur, namun mempunyai tingkat jerapan P yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya mineral amorf seperti alofan, imogolit, ferihidrit, dan oksida-oksida hidrat Al dan Fe dengan permukaan spesifik yang luas (Munir, 1996).
Ultisol didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai penciri horison argilik atau kandik dan kejenuhan basa < 35%. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, 2004).
Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti permulaan. Inceptisol menduduki golongan tanah terluas kedua di dunia. Ciri khas Inceptisol ini adalah tanah mulai berkembang, mempunyai epipedon Ochric (pucat), meskipun masih sedikit memperlihatkan bukti adanya eluviasi dan iluviasi. Golongan tanah ini dapat terjadi hampir dalam semua zone iklim yang memungkinkan terjadinya proses pencucian. Inceptisol merupakan tanah yang mempunyai horizon alterisasi yang telah kehilangan basa-basa atau besi dan aluminium tetapi mengandung mineral-mineral terlapuk, tampa horizon iluviasi yang diperkaya dengan liat silikat yang mengandung aluminium dan bahan organik amorf (Sevindrajuta, 2013).
Entisolmerupakanordotanah yang umumnyamasihmuda, hampir belummengalamiperkembangan horizon pedogenik.Beberapaada yang memiliki horizonepipedonochrikdansedikitpadaPsamentsmemiliki horizon albik (horizon B) (Fanning dan Fanning, 1989).Bahanpenyusuntanahinikebanyakanberupabahantanah yang masihlepasdenganperkembangantanah yang sangatlemahdandayamenahan air sedikit (Notohadiprawiro, 1991).
Vertisols adalah tanah-tanah yang telah mempunyai perkembangan profil, yang dicirikan oleh terbentuknya bidang kilir (slickenside) di lapisan bawah, kandungan liat cukup tinggi (> 30%) dan terdapat rekahan-rekahan di permukaan tanah selebar > 1 cm dan dalam > 50 cm pada musim kemarau (Soil Survey Staff, 1998). Tanah ini terbentuk dari bahan aluvium yang kaya akan basa-basa dan batuan sedimen pada fisiografi dataran aluvial dan dataran. Umumnya solum tanah dalam, warna tanah kelabu, tekstur halus, reaksi tanah netral sampai basa, dan kandungan bahan organik rendah. Faktor pembatas utama adalah sifat mengembang dan mengkerut sehingga terjadi rekahan yang cukup dalam dan lebar terutama pada musim kemarau panjang (Susanto A.N. dan Marthen P. S., 2007).





















III.             METODE PRAKTIKUM
A.    Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum penyiapan contoh tanah yaitu mortir dan penumbuknya, saringan (2 mm, 1 mm, ,05 mm) tambir untuk peranginan, kantong plastik, dan spidol atau label. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu contoh tanah terganggu yang telah diambil dari lapang dan sudah dikeringanginkan selama kurang lebih satu minggu. Jenis contoh tanah terganggu yang digunakan pada praktikum ini, yaitu ultisol, inceptisol, vertisol, entisol, dan andisol.
B.     Cara Kerja
1.      Contoh tanah yang sudah dikeringkan ditumbuk dalam mortir secara hati-hati, kemudian diayak dengan saringan berturut-turut dari yang berdiameter 2 mm, 1 mm dan 0,5 mm. Contoh tanah yang tertampung diatas saringan 1 mm adalah contoh tanah yang berdiameter 2 mm, sedangkan yang lolos saringan 0,5 mm adalah contoh tanah halus (< 0,5 mm).
2.      Contoh tanah yang diperoleh dimasukkan dalam kantong plastik dan diberi label seperlunya.




IV.             PEMBAHASAN
A.    Pembahasan
Tanah adalah produk transformasi mineral dan bahan organik yang terletak di permukaan sampai kedalaman tertentu yang dipengaruhi oleh faktor genetis lingkungan, yakni bahan induk, iklim,organisme hidup (mikroorganisme dan makroorganisme),topografi, dan waktu yang sangat panjang. Tanah dapat dibedakan dari ciri-ciri bahan induk asalnya baik secara fisik, kimia, biologi, maupun morfologinya.(Rodriquez-Iturbe and Amilcar, 2004)
Tanah memiliki kualitas yang berbeda disetiap wilayah. Pada tahun 1994 Soil Science Society of America (SSSA) telah mendefinisikan kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk menampilkan fungsi-fungsinya dalam penggunaan lahan atau ekosistem untuk menopang produktivitas biologis, mempertahankan kualitas lingkungan, dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan (Agehara and Wameke,2005).
Menurut Jenny (1941) 5 Faktor yang mempengaruhi Proses Pembentukan
Tanah (Genesis) dan Perkembangan Tanah (Differensiasi Horison), yaitu:
1.        Bahan Induk (b) = Batuan Beku, B.Sedimen, B.Metamorf, bahan organik; (mempengaruhi perbedaan dari sifat kimia dan sifat fisik tanah)
2.        Iklim (i) = curah hujan dan suhu (temperatur)
3.        Organisme (o) atau Jasad Hidup (h) = Tumbuhan & Hewan
4.        Relief (r ) atau Topografi (t) : Kecuraman Lereng
5.        Waktu (w) = Tingkat Perkembangan (muda, dewasa, tua) dan Umur (dalam tahun).
Tidak semua faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang sama dalam proses pembentukan tanah, kadang-kadang satu atau dua faktor berpengaruh lebih dominan sementara faktor yang lain mempunyai pengaruh yang minimum. Keragaman faktor-faktor lingkungan pembentukan tanah ini akan menyebabkan sifat-sifat tanah bervariasi baik ke arah vertikal maupun horizontal.
Pada praktikum ini digunakan beberapa contoh tanah, yakni Entisol, Inceprisol, Andisol, Vertisol, dan Ultisol.
A.    Entisol
Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah Aluvial ini (Hardjowigeno, 1993).
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik (Tan, 1986).
Entisol mempunyai kejenuhan basa yang bervariasi, pH dari asam, netral sampai alkalin, KTK juga bervariasi baik untuk horison A maupun C, mempunyai nisbah C/N < 20% di mana tanah yang mempunyai tekstur kasar berkadar bahan organik dan nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur lebih halus. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih rendah dan kemungkinan oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertekstur kasar juga penambahan alamiah dari sisa bahan organik kurang daripada tanah yang lebih halus. Meskipun tidak ada pencucian Universitas Sumatera Utara hara tanaman dan relatip subur, untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi biasanya membutuhkan pupuk N, P dan K (Munir, 1996).
Entisol dapat juga dibagi berdasarkan great groupnya, beberapa diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent dan Fluvaquents. Ketiga great group ini merupakann subordo Aquent yaitu Entisol yang mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman ≤ 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu jenuh air dan pada semua horizon dibawah 25 cm terdapat hue dominan netral atau biru dari 10 Y dan warna-warna yang berubah karena teroksidasi oleh udara. Jenuh air selama beberapa waktu setiap tahun atau didrainase secara buatan (Hardjowigeno, 1993).
 Hydraquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent yang pada seluruh horison di antara kedalaman 20 cm dan 50 cm di bawah permukaan tanah mineral, mempunyai nilai-n sebesar lebih dari 0,7 dan mengandung liat sebesar 8 persen atau lebih pada fraksi tanah halus (Soil survey staff, 1998). Tropaquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent. Tanah ini dibedakan karena memiliki regim suhu tanah iso (perbedaan suhu musim panas dan dingin kurang dari 50. Tanah ini terbentuk karena selalu basah atau basah pada musim tertentu. Jika dilakukan perbaikan drainase akan berwarna kelabu kebiruan (gley) atau banyak ditemukan karatan (Hardjowigeno, 1993).
Fluvaquents adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent yang mengandung karbon organik berumur Holosen sebesar 0,2 persen atau lebih pada kedalaman 125 cm di bawah permukaan tanah mineral, atau memiliki penurunan kandungan karbon organik secara tidak teratur dari kedalaman 25 cm sampai 125 cm atau mencapai kontak densik, litik, atau paralitik apabila lebih dangkal (Soil survey staff, 1998).
B.     Inceptisol
Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisol untuk pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki (Hardjowigeno, 1993).
Inceptisol yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K) maupun masukan organik (pencampuran sisa panen kedalam tanah saat pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-Organik dan kapasitas tukar kation (KTK) dalam inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tampat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Munir, 1996).
Inceptisol dapat dibedakan berdasarkan great groupnya. Salah satu great group dari Inceptisol adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah great group dari ordo tanah Inceptisol dengan subordo Aquept yang memiliki regim suhu tanah isomesik atau lebih panas. Aquept merupakan tanah-tanah yang mempunyai rasio natrium dapat tukar (ESP) sebesar 15 persen atau lebih (atau rasio adsorpsi natrium, (SAR) sebesar 13 persen atau lebih pada setengah atau lebih volume tanah di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral, penurunan nilai ESP (atau SAR) mengikuti peningkatan kedalaman yang berada di bawah 50 cm, dan air tanah di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral selama sebagian waktu dalam setahun (Soil survey staff, 1998)
C.      Andisol
Andisol adalah salah satu jenis tanah yang relatif subur, namun mempunyai tingkat jerapan P yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya mineral amorf seperti alofan, imogolit, ferihidrit dan oksida-oksida hidrat Al dan Fe dengan permukaan spesifik yang luas (Triana, 1996). Tanah Andisol mempunyai unsur hara yang cukup tinggi, sehingga tanah jenis ini baik untuk ditanami. Kebanyakan tanah Andisol memiliki pH antara 5 - 7, dan memiliki kandungan C-organik berkisar antara 2-5%.
Andisol adalah tanah yang berkembang dari bahan vulkanik seperti abu vulkan, batu apung, silinder, lava dan sebagainya, dan atau bahan volkanik lastik, yang fraksi koloidnya didominasi oleh mineral “Short-range order” (alofan, imogolit, ferihidrit) atau kompleks Al-humus. Dalam keadaan lingkungan tertentu, pelapukan alumino silikat primer dalam bahan induk non-vulkanik dapat menghasilkan mineral “Short-range order”, sebagian tanah seperti ini yang termasuk dalam Andisol (Saridevi, 2013).
Tanah yang terbentuk dari abu vulkanik ini umumnya ditemukan didaerah dataran tinggi (>400 m di atas permukaan laut). Jenis tanah ini banyak ditemukan di dataran sekiar gunung api. Di Indonesia tanah ini dapat ditemukan di Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Maluku (Darmawijaya, 1990).
Proses pembentukan tanah yang utama pada Andisol adalah  pelapukan dan transformasi (perubahan bentuk). Proses  pemindahan bahan (translokasi) dan  penimbunan bahan-bahan tersebut di dalam solum sangat sedikit. Akumulasi bahan organik dan terjadinya kompleks bahan organik dengan Al merupakan sifat khas pada  beberapa Andisol (Hardjowigeno, 1993). Tanah andisol terbentuk di wilayah dataran tinggi lebih dari 1000 mdpl yang memiliki curah hujan antara 2.500-7000 mm/tahun. Produktivitas tanah ini sedang hingga tinggi. Penggunaannya terutama untuk tanaman sayuran, kopi, buah-buahan, teh, kina dan pinus. (Sri dan dkk, 2007)
D.    Ultisol
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, 2004).Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah (PrasetyodanSuriadikarta, 2006).
Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993).
Proses pembentukan tanah Ultisol meliputi beberapa proses sebagai berikut :
1.      Pencucian yang ekstensifterhadapbasa-basaanmerupakanprasyarat. Pencucianberjalansangatlanjuthinggatanahbereaksimasamdankejenuhanbasarendahsampailapisanbawahtanah (1,8 m daripermukaan).
2.      Karena suhu yang cukup panas (lebih dari 8˚C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, akibatnya adalah terjadi pelapukan yang kuat terhadap mineral mudah lapuk, dan terjadi pembentukan mineral liat sekunder dan oksida-oksida. Mineral liat yang terbentuk biasanya didominasi oleh kaolinit, dan gibsit.
3.      Lessivage (pencucian liat), menghasilkan horison albik dilapisan atas (eluviasi), dan horison argilik dilapisan bawah (iluviasi). Sebagian liat di horison argilik merupakan hasil pembentukan setempat (in situ) dari bahan induk.Di daerah tropika horison E mempunyai tekstur lebih halus mengandung bahan organik dan besi lebih tinggi daripada di daerah iklim sedang.Bersamaan dengan proses lessivage tersebut terjadi pula proses podsolisasi dimana sekuioksida (terutama besi) dipindahkan dari horison albik ke horison argilik.
4.      Biocycling
Meskipun terjadi pencucian intensif tetapi jumlah basa-basa di permukaan tanah cukup tinggi dan menurun dengan kedalaman. Hal ini disebabkan karena proses Biocycling basa-basa tersebut oleh vegetasi yang ada di situ.
5.      Pembentukan plinthite dan fragipan.
Plinthite dan fragipan bukan sifat yang menentukan tetapi sering ditemukan pada Ultisol. Biasanya ditemukan pada subsoil di daerah tua. Plinthite terlihat sebagai karatan berwarna merah terang. Karatan ini terbentuk karena proses reduksi dan oksidasi berganti-ganti. Jikamuncul di permukaanakan menjadi keras irreversibie dan disebut laterit. Fragipan terdapatpada ultisol drainase burukdanfragipan menghambat gerakan air dalam tanah. Proses pembentukan fragipan masih belum jelas.
6.      Perubahan horison umbrik menjadi mollik
Ultisoldenganepipedonumbrik (umbraquult) dapatberubahmenjadiepipedonmollikakibatpengapuran.Walaupundemikianklasifikasitanahtidakberubahselamalapisan-lapisan yang lebihdalammempunyaikejenuhanbasarendah.Hal inidisebabkanuntukmenunjukkanadanyapencucian yang intensifdan agar klasifikasitanahtidakberbuahakibatpengelolaantanah (Hardjowigeno, 1987).
Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik (SuriadikartadanWidjaja, 1986).
E.     Vertisol
Vertisol adalah tanah hitam yang suburdandapat terbentuk dari berbagai macam bahan induk tanah, mineral liatnya didominasi oleh smektit, dan mempunyai sifat yang retak-retak bila kering. Tanah Vertisol umumnya terbentuk dari bahan sedimen yang mengandung mineral smektit dalam jumlah tinggi, di daerah datar, cekungan hingga berombak (Driessen and Dudal, 1989).
Pembentukan tanah Vertisol terjadi melalui dua proses utama, pertama adalah proses terakumulasinya mineral 2:1(smektit)dan yang kedua adalah proses mengembang dan mengkerut yang terjadi secara periodik sehingga membentuk slickenside atau relief mikro gilgai. Dalam perkembangannya mineral 2:1 yang sangat dominan dan memegang peran penting pada tanah ini. Komposisi mineral liat dari Vertisol selalu didominasi oleh mineral 2:1, biasanya monmorilonit, dan dalam jumlah sedikit sering dijumpai mineral liat lainnya seperti illit dan kaolinit. Tanah ini sangat dipengaruhi oleh proses argillipedoturbation, yaitu proses pencampuran tanah lapisan atas dan bawah yang diakibatkan oleh kondisi basah dan kering yang disertai pembentukan rekahan-rekahan secara periodik (Fanning and Fanning, 1989). Proses-proses tersebut menciptakan struktur tanah dan pola rekahan yang sangat spesifik. Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan palstis serta kedapair, tapi ketika kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yangterpisahkan oleh rekahan(Van Wambeke, 1992). 
Secara kimiawi vertisol tergolong tanah yang relatif kaya akan hara karena mempunyai cadangan sumberhara yang tinggi, dengan kapasitas tukar kation tinggi dan pH netral hingga alkali. Di Indonesia,penyebaran vertisol mencapai sekitar 2.1 juta hektar dan tersebar di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, Sumbawa, Sumba dan Timor. Umumnyatanahvertisolbaikuntukditanamitebu, kapas, tembakau, jagung, dankedelai (Subagjo, 1983).
Ada beberapa cara pengambilan contoh tanah, diantaranya:
1.      Contoh tanah utuh (Undisturbed soil sample)
Contoh tanah utuh merupakan contoh tanah yang diambil dari lapisan tanah tertentu dalam keadaan tidak terganggu, sehingga kondisinya hampir menyamai kondisi di lapangan. Contoh tanah tersebut digunakan untuk penetapan angka berat volume (berat isi, bulk density), distribusi pori pada berbagai tekanan (pF 1, pF 2, pF 2,54, dan pF 4,2) dan permbeabilitas.
2.      Agregat utuh (Undisturbed soil agregate)
Contoh tanah agregat utuh adalah contoh tanah berupa bongkahan alami yang kokoh dan tidak mudah pecah. Contoh tanah ini diperuntukkan bagi analisis indeks kestabilitas agregat (IKA). Contoh diambil menggunakan cangkul pada kedalaman 0-20 cm.
3.      Contoh tanah tidak utuh/terganggu (Disturbed soil sample)
Contoh tanah terganggu dapat juga digunakan untuk analisis sifat-sifat kimia tanah. Kondisi contoh tanah terganggu tidak sama dengan keadaan di lapangan, karena sudah terganggu sejak dalam pengambilan contoh. Contoh tanah ini dapat dikemas mengunakan kantong plastik tebal atau tipis. Kemudian diberi label yang berisikan informasi tentang lokasi, tanggal pengambilan, dan kedalaman tanah. Label ditempatkan di dalam atau di luar kantong plastik (Suganda et al, 2002).
Kegunaan contoh tanah kering udara berdiameter 2 mm dan 0,5 mm yaitu untuk menetapkan kadar air tanah, derajat kerut tanah, mengamati tanah dengan indra, dan pengenalan profil tanah.










V.                KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
1.      Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan terpenting di dalam program uji tanah.
2.      Ada tiga macam cara pengambilan contoh tanah, yaitu : contoh tanah utuh; contoh tanah tidak utuh/terganggu; contoh tanah dengan agregat utuh.
3.      Contoh tanah yang tertampung di atas saringan 1 mm adalah contoh tanah yang berdiameter 2 mm, seperti : Vertisol, Entisol dan Andisol.
4.      Contoh tanah yang lolos saringan 0,5 mm adalah contoh tanah halus, seperti : Inceptisol dan Ultisol.
B.     Saran
Sebelum melakukan praktikum, sebaiknya praktikan harus mengetahui contoh tanah yang akan digunakan saat praktikum. Praktikan langsung mempraktekkan di lapangan, meskipun tanah sudah disediakan di laboratorium. Hal ini bertujuan agar praktikum memahami contoh tanah dengan tepat.





DAFTAR PUSTAKA
Agehara, S and, D.D. Warncke.2005. Soil moisture and temperature effect on         nitrogen release from organic nitrogen source. Soil Science Society of       America Journal 69.
Darmawijaya, Muslim. 1990. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Drissen and Dudal, M. 1989. “Soil, Morphology, Genesis and Classification”. Chapter 28. Entisols. John Wiley & Sons. USA. p. 226 – 233.
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Jenny, H., 1941. Factor of Soil Formation. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York And London.
Munir, M.S. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Karakteristik; Klasifikasi dan Pemanfatannya. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Prasetyo B.H danSuriadikarta D.A. 2006.“Karakteristik, Potensi, danTeknologiPengelolaan Tanah UltisoluntukPengembanganPertanianLahanKering di Indonesia”.JurnalLitbangPertanian. 25(2) : 39-43.
Rodriquez-Iturbe, I and, P. Amikar. 2004. Ecohydrology of water-controlled          ecosystem: Soil Moisture and Plant Dynamics. Cambridge University Press. London.
Saridevi, G.A.A.R, I Wayan D Atmaja, I Made Mega. 2013. “PerbedaanSifatBiologiTanah padaBeberapaTipePenggunaanLahan di Tanah Andisol, Inceptisol, danVertisol”.E-JurnalAgroekoteknologiTropika.Vol 2 No 4: 215-217.
Sevindrajuta. 2013. “EfekPemberianBeberapaTakaranPupukKandangSapiTerhadapSifat Kimia InceptisoldanPertumbuhanTanamanBayamCabut”. JurnalUniversitasMuhammadiyah Sumatera Barat. Hlm 3-4.
Soil Survey Staff. 2010. “Karakteristik dan Permasalahan Tanah Marginal dari BatuanSedimen Masam di Kalimantan”, Jurnal Litbang Pertanian, 29(4): 144.
Sri, Turnamaya dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Univeritas Gajah Mada Press
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. “Tanah-tanah pertanian di Indonesia”. Vol: 4. Hlm.21−66. Dalam  A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). “Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya”.Jurnal Ilmu Pertanaian dan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suganda H., Achmad R., danSutono. 2002. PetunjukPengambilanContoh Tanah untuk Penanaman Tanamamn Anggrek Bulan, Trubus Action.Artikel.Hlm 3-12. Jakarta: PT Grassindo Pustaka.
Susanto A.N. dan Marten P.S. 2007.“KarakteristikdanKetersediaan Data SumberDayaLahanPulau-Pulau Kecil untukPerencanaan Pembangunan Pertanian di Maluku”.JurnalLitbang Pertanian. Vol: 23(4):123-128.
Tan, Subharja. 1986. Ilmu Tanah dan Klasifikasi Dasar. Bandung: PT Hardika Medika.
Wambake, Van. 1992. Fundamentals of Soils Science, Fifth Ed, John Willey & Sons, Inc.


















LAMPIRAN


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar